dunia dalam dunia

Selasa, 08 Januari 2013

LOVE LIVE LEAVE


 

Denting lonceng terdengar, jam menunjukan pukul 02:00, dini hari. Sepagi ini, mataku masih terjaga. Sama sekali tak mau terpejam. Hanya bisa memandang sosok pria yang menjadi wallpaper di handphoneku. Sosok pria yang membuat pikiranku berlari-lari. Berimajinasi hingga terhenti pada satu titik. Kamu. KAMAL ANDESTA.
Pria yang aku kenal sejak aku masih duduk di bangku kelas 3 smp. Namun ia tetap sama, pria simple, sederhana dan penuh perhatian. Pria kelahiran 22 tahun silam, yang selama 3 tahun ini setia menjadi kekasihku. Pria berbadan tegap, tinggi, berkulit sawo matang. Secara fisik,menurutku Kamal cukup tampan. Aku beruntung mempunyai kekasih seperti Kamal. Dia pria yang bisa menjagaku, menerima aku apa adanya. Aku, Uthya Rahma. Aku bukanlah seorang wanita cantik bak bidadari, aku juga bukan wanita cerdas yang bergelimang harta. Aku hanyalah gadis dari keluarga sederhana yang menghuni sebuah kota kecil di Pulau Jawa, Purwokerto. Kamal, kekasih yang dua tahun terakhir ini jauh dariku. Jauh jarak, jauh dimata namun selalu dekat di hatiku. Longdistance Relationship. Yah, itulah yang dua tahun terakhir kami jalani.
 Beratus-ratus, bahkan beribu-ribu meter jarak yang terbentang diantara kita. Jawa- Kalimantan. Bukan hal mudah menjalani hubungan dengan jarak sejauh ini. Apalagi dengan kesibukan kami masing-masing. Aku yang saat ini masih terdaftar sebagai mahasiswa di sebuah Universitas negeri di kota kecilku. Dan Kamal yang telah menjadi karyawan tetap di Bandara di Kalimantan.
Buatku, Kamal adalah pria terbaik yang pernah ku kenal. Perhatian, sederhana dan dia sosok pria yang bertanggung jawab. Tak hanya menjadi kekasih, Kamal juga menjadi sahabat baik untukku. Teman setiap hariku. Sepi, susah, sedih, senang, tawa, tangis dia selalu ada untukku. Rasanya, ketulusan itu benar ada dan hanya untukku.
*****
Saturday night, 26 Februari 2009
Kamal menutup mataku dengan sehelai kain. Aku dituntunnya menyusuri jalan. Aku tak tau apa yang akan dilakukannya padaku. Dalam sekejap, berbagai macam pertanyaan muncul dalam benakku. Dimana aku? Aneh.. Apa yang akan Kamal lakukan padaku? Apa maksudnya dia membawaku ke tempat seperti ini?
 Setelah Kamal membuka penutup mata itu, barulah aku tau. Aku ada di tepi sebuah danau, merdu gemericik air,dan kilauan sinar bulan dan bintang yang berpadu dengan kerlip cahaya dan kunang-kunang. Ada dua buah kursi dan satu meja yang di atasnya cantik berhiaskan mawar putih. Bunga favoritku. Romantis.
 “Ada yang ingin aku katakan padamu, Thya”. Kata Kamal, sembari mempersilahkan aku duduk.
“Apa?”
Kamal bangkit dari duduknya, dia menghampiriku dan duduk bertumpu pada lututnya. Kamal mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah cincin yang sangat cantik.
“Thya, aku sayang kamu. Apa kamu mau jadi pacarku?”.
Ngga usah bercanda deh!”
“Thya, aku serius. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Mau kamu jadi pacarku?
Aku juga sayang sama kamu. Aku mau jadi pacar kamu.” Jawabku dengan malu.
Kamal terlihat sangat bahagia, begitupun denganku. Dia memakaikan cincin cantik itu di jariku. Malam itu menjadi malam yang indah, bahkan mungkin terlalu indah untuk kita. Alamlah yang menjadi saksi awal kisah cinta kita. Alam yang menjadi saksi kebahagiaan kita.
Hampir setiap hari kita lalui bersama, walaupun hanya sekedar mengantar atau menjemputku di sekolah. Ya, waktu itu kita masih sama- sama sekolah. Umurku saat itu masih 16 tahun, dan Kamal 19 tahun. Kami bersekolah di tempat yang berebeda.
Pernah suatu hari Kamal mengantarku pulang ke rumah. Dan Ayah menanyakan banyak hal tentang Kamal. Terlihat jelas wajah Ayah seakan mengisyaratkan Ayah tak menyukai hubungan kita. Satu alasan, karena kita berdua masih sekolah, orangtuaku melarangku menjalin hubungan melebihi teman atau sahabat. Mereka takut kalau nantinya itu akan menganggu sekolahku. Dengan terpaksa kita menjalani backstreet.
Karena alasan itu, Kamal jadi jarang bahkan bisa dibilang tak pernah ke rumahku. Setiap kali bertemu, kita selalu bertemu di luar rumah. Di cafe sebuah mall di kotaku. Kadang aku merasa lelah dan bersalah jika terus seperti ini. Tapi demi Kamal dan demi rasa sayangku pada Kamal, apa boleh buat...
*****
Suatu hari, Kamal mengajakku bertemu di sebuah café di sebuah mall. Saat itu, kalender akademik menunjukan H-3 sebelum Kamal mengikuti UAN.
“Sayang, aku pingin tanya sesuatu sama kamu.”
“Tanya apa si ay? Serius amat kayaknya.” Jawabku dengan raut wajah penasaran.
“Thy, kalau kita Longdis kamu mau ngga?”
“Longdis! Emang kamu mau pergi kemana?”
“Setelah lulus nanti, aku bakal ke Kalimantan. Aku akan bekerja di sebuah bandara, ikut om ku. Mau kan nunggu aku pulang?”
Aku kaget. Aku tak menjawabnya. Hanya bisa diam, dan perlahan air mataku jatuh membasahi pipiku. Selama ini aku tak pernah menjalani hubungan jarak jauh. Entah apa yang akan terjadi
Thy, jangan menangis. Aku pergi buat sementara. Aku Cuma kerja, aku pasti bakal balik ke Jawa. Aku pasti pulang dan melamarmu.” Ucapnya dengan suara sendu sembari mengusap air mataku.
“Dengar aku Thya, aku pergi untuk kita. Untuk masa depan kita. Untuk kebahagiaan kita.”
       Kalimantan-Jawa. Terpisah laut. Hanya kekososngan. Antara jarak dan waktu. Waktu untuk menantimu kembali. Tapi aku yakin, cinta tak akan berkarat hanya karena diterpa angiun garam. Aku yakin cinta ini abadi, dan buatku, keabadian cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sebuah takdir, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, menggelisahkan, penuh suka cita, misterius.
*****

14 agustus 2009. 22:00 WIB. Stasiun Kereta Api.
Aku mengantar Kamal ke stasiun. Kita berdua duduk di deretan kursi tunggu yang tersedia. Sambil menunggu kereta datang, Kamal banyak bercerita padaku. Tentang keluarganya. Selama kita berpacaran, baru kali ini dia bercerita tentang kehidupan pribadinya. Kamal memang pria yang tertutup, tak terkecuali denganku kekasihnya. Kini aku tau, Kamal adalah sosok pria yang mandiri. Sejak ia berumur 8 tahun ia sudah ditinggal oleh ibunya bekerja di Luar Negeri. Sedangkan ayahnya sudah meniggal dunia saat ia masih dalam kandungan karena mengalami kecelakaan.
Kamal termasuk anak yang cerdas. Ketika SMP, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Kamal pun akhirnya diangkat sebagai anak oleh kepala sekolah tempat ia melanjutkan sekolahnya.
Suara khas stasiun terdengar. Kereta yang kita tunggu sudah datang. Seketika itu air mataku mengucur melewati dinding pipiku. Ini saatnya berpisah? Kamal memelukku sebelum akhirnya Kamal bergegas menghampiri kereta itu.
“Sayang aku ke Jogja. Besok pagi barulah aku terbang ke Kalimantan. Do’akan aku.” Kata Kamal sembari memelukku.
Air mataku tak henti-hentinya menetes. Rasanya aku tak ingin melepas pelukannya. Dekap hangat orang yang sangat aku sayang, orang yang selalu mencipta rindi dari hatiku.
Aku hanya pergi tuk sementara
Bukan tuk meninggalkanmu selamanya
Ku pasti kan kembali pada dirimu…
Lirik lagu itu… Kamal menyanyikannya sebelum ia memasuki kereta. Air mataku kian deras mengucur.
“Tunggu aku pulaaang… Aku akan datang melamarmu!” teriak Kamal dari dalam kereta yang kian jauh meninggalkanku.
Aku hanya menjawabnya denagn senyum haru. Ya tuhan… jaga dia, jaga hatinya, jaga cintanya untukku. Tuntunlah dia selalu di jalanMu. Pertemukanlah kita dalam kebahagiaan ikatan suciMu.
*****
With you is where I’d rather be
But we’re stuck where we are
And it’s so hard, you’re so far
This londistance is killing me
I wish that you were here with me…
Lagu longdistance – Bruno Mars terdengar nyaring dari handphoneku. Kamal menelponku.
“Pagi sayang” sapa Kamal dengan manjanya.
“Pagi juga ay. Gimana? Udah sampe?”
“Udah sayang. Hari ini aku mulai kerja, jadi mungkin  aku bakal sibuk dan ngga bias temenin kamu seharian. Ngertiin aku ya sayang.”
“huh… Iya deh.”
Yap!! Kamal benar- benar sibuk sekarang. Dia mulai bekerja. Dan aku benar-benar merasa sepi. Berkali-kali sms bahkan telpon, semuanya tak pernah dijawab. Hingga hari-hari berikutnya pun, sama.
Ini LDR pertama kita, awalnya memang susah. Kita sering salah paham, bahkan sampai bertengkar hebat. Aku harus lebih bisa bersabar dan mengerti kesibukan Kamal.
“Aku sibuk untuk kita. Untuk masa depan kita. Untuk kebahagiaan kita.”
Hubungan kita hanya bergantung pada komunikasi; sms, telefon, facebook, twitter,skype semua itu cukup membuat kita meras dekat meski sebenarnya kita terpisahkan oleh bentangan laut luas.
Tak selamanya perjalanan cinta kami mudah. Terkadang ada kerikil kerikil tajam yang menghambat jalan kita. Masalah demi masalah, cobaan demi cobaan terkadang membuatku tak kuasa tuk menahan tangis. Badai dan gelombang yang datang menerjang, tak akan merubah haluan cinta kita.
Pernah suatu hari aku merasa sangat dikecewakan. Petang itu, Kamal berjanji akan menelponku. Aku menunggu, bahkan hingga larut malam. Sebel, kesel,bete, cape, pusing, pengen banget marah rasanya.
Tepat jam satu dini hari, akhirnya Kamal menelponku. Marahnya ilang, penatnya ilang, betenya juga ilang. Lega rasanya denger handphone yang akhirnya berdering.
“Assalamu’alaikum” sapa Kamal dengan suara lembutnya yang khas.
“Walaikumsalam. Ayah dari man...” belum selesai aku bertanya, Kamal memotong pembicaraanku.
“Udah ya, kita temenan aja sekarang!”
       Ya Tuhan.. mimpi apa aku semalam. Kenapa tiba-tiba Kamal minta putus? Serasa baru terbang sampe mentok ke langit tingkat tinggi dan tiba-tiba dilepaskan terjun bebas tanpa penghalang tanpa pengaman. Ngga ada angin ngga ada badai, tapi petir tiba-tiba menyambar.
       Entah apa alasan Kamal putusin aku. Ngga ada yang bisa aku keluarkan dari mulutku selain kata “ya”. Pasrah aja. Mungkin memang Kamal bosan dengan hubungan ini, terpisah jarak, jarang ketemu. Apalagi kesibukan kita masing-masing membuat komunikasi diantara kita sedikit terhambat.
       Inilah kisah cinta aku dan Kamal. Tak selamanya lancar seperti jalan tol. Penuh liku-liku. Setiap kali mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Demikianlah cinta kami, selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali, ataukah cinta kami hanya cinta yang begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi.

*****
Waktu terus berputar, hari berganti hari, bulan berganti bulan. Memendam benih rindu yang terkadang berubah menjadi emosi yang membara. Tak terasa, ini bulan ke 5 setelah kita berpisah. Banyak hal, banyak cerita, ada pula kekecewaan yang semua itu justru melatih diriku untuk lebih bisa bersikap dewasa. Sampai akhirnya, 31 Desember 2009 Kamal mengirim pesan singkat untukku.
Sayang, lagi dimana? Rumah kan?
Tolong bukain pintu yaa…
Aku udah di depan nih…
Oh my God!!! Surpriseee….! Aku berlari dengan senangnya dan segera membuka pintu. Orang yang aku sayang, yang selama 5 bulan ini telah berpisah denganku, akhirnya bertemu lagi sekarang. Kita pergi, berdua menghabiskan waktu bersama. Melewati kemeriahan pesta tahun baru. Sungguh indah hari ini.
Keesokan harinya Kamal kembali datang ke rumahku. Dia bertemu dengan ayahku. Aku pikir, ayah akan senang karena sekarang aku telah mempunyai teman lelaki yang mencintaiku, yang bias menjagaku. Tapi ternyata apa yang terjadi sangat bertolak belakang dengan apa yang aku harapkan dan apa aku bayangkan. Ayah masih tetap pada keputusannya dulu dan tak menyetujui hubunganku dan Kamal. Siang itu, ayah marah besar dengan Kamal. Ayah menyuruh Kamal untuk pergi dari rumah dan kembali ke Kalimantan.
“Thya! Masuk ke kamarmu!!Dan kamu Kamal, pergi!
Jangan kembali lagi ke rumah ini!” bentak ayah sembari mendorong Kamal pergi keluar dari rumah.
Ya Tuhan…. Kenapa semua jadi seperti ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Apakah aku harus mengakhiri cintaku dan melupakan Kamal. Rasanya, tak mungkin. Aku sangat mencintainya. Setelah kejadian itu, hingga 3hari kemudian, Kamal tak menghubungiku. Telefon, sms semuanya tak dijawab olehnya. Ya Tuhan… Apa lagi ini? Apakah Kamal masih marah karena sikap ayah? Tuhan, sampaikan maafku pada Kamal. Apapun yang terjadi aku tetap mencintai Kamal.Aku yakin, ayah pasti akan luluh jika kita bias meyakinkan ayah bahwa kita saling mencintai.
*****
Sayang maafin aku..
Jujur, aku kecewa sama ayah kamu. Tapi aku ngga akan menyerah, aku akan tetep sayang dan cinta kamu. Aku yakin ayah pasti bakal restuin kita suatu saat nanti.
Aku udah di Kalimantan, maaf aku ngga pamit sama kamu.
Aku takut kamu makin sedih.
I love you.
Pesan singkat itu dari Kamal. Begitu teganya dia meninggalkan ku dengan keadaan seperi ini. Tapi aku harus bangkit, ini bukan saatnya aku terpuruk dengan kesedihan dan kesendirianku. Aku harus buktikan npada ayah bahwa kami memang saling mencintai, dan kami akan bahagia jika kami bersama.
Hari demi hari terus aku lalui, tentunya tanpa Kamal disisiku. Rasanya tak kuat menahan rindu terus-menerus, ini bulan ke 10 setelah dia kembali ke Kalimantan dan kita tak bertemu lagi sejak saat itu. Harus berapa lama lagi aku menunggunya? Terkadang sepi memaksaku tuk berpaling darinya, tapi hati ini tak pernah bisa. Aku hanya mencintai Kamal.
Malam harinya, aku bercerita banyak ke ibu. Aku berusaha meyakinkan ibu bahwa aku dan Kamal memang saling mencintai dan kami serius. Walaupun kami terpisah jarak, tapi kita bisa saling menjaga. Aku terus merayu ibu agar ibu mau berbicara pada ayah.
“Bu, gimana ya ngomong sama ayah?” tanyaku ke ibu.
“Kamu yakin Kamal serius? Kamu ini masih muda, jangan buru-buru ambil keputusan seperti ini.”
“Iya bu, Thya ngerti. Tapi Kamal benar-benar mencintaiku, bahkan dia janji, satu tahun yang akan datang dia akan pulang dan melamarku. Dia ingin kita bertunangan.”
“Secepat itu?”
       Aku hanya diam. Memasang muka memelas. Aku harap ibu mau ngomongin ini ke ayah.
“Ayolah bu.. setidaknya ibu bisa merayu dan yakinin ayah soal Kamal.Minimal, Ayah restuin hubungan Thya dan Kamal. Masalah tunangan, biar Thya bicarakan lain waktu.
*****
“Thya, semalam ibu udah ngomong  ama ayah. Soal Kamal, apa kamu yakin sama dia?” tanya ayah dengan nada serius. Menatap langsung ke arah ayah pun aku tak berani.
“Iya yah, Thya serius. Aku yakin. Bahkan Kamal semakin hari semakin menunjukan keseriusannya.”
“Beneran yakin sama dia?”
Aku mengangguk.
“Bahagia sama dia, walaupun selama ini kalian terpisah jarak?”
Aku mengangguk. Tenggorokanku mulai tersekat. Air mata mulai menggenang di kedua mataku. Aku menangis.
“Kalau itu pilihan kamu, ayah nggak akan melarang. Kamu sudah dewa, tahu mana yang baik dan mana yang buruk, bagaimana pun, kalian yanag akan menjalaninya. Pesan ayah satu, selesaikan dulu kuliahmu baru memikirkan yang lainnya.”
Lega rasanya... Alkhamdulillah ya Allah.. Akhirnya ayah merestui hubunganku dan Kamal. Semua itu seperti mimpi. Akhirnya aku dapatkan kebahagiaanku.
*****
Satu tahun kemudian. Siang itu, sepulang kuliah aku melihat ada mobil terparkir di depan rumahku. Ternyata, itu milik Kamal. Dia pulang dengan kesuksesannya yang selama ini dia perjuangkan. Satu hal yang sangat tak ku sangka, ternyata Kamal sudah berada di rumahku sejak siang tadi. Dia banyak berbincang dengan ayahku.
“Thya, aku disini untukmu. Malam ini berdandanlah yang cantik. Aku akan kembali kesini dan melamarmu” ucap Kamal saat melewatiku dan pergi meninggalkan rumahku.
Malam yang ku tunggu datang juga. Malam terindah dari malam-malam indah yang pernah kita lalui sebelumnya. Semua keluarga berkumpul, bersuka cita merayakan pertunanganku dan Kamal malam ini. Hari yang penuh kejutan special, aku tak akan pernah melipakan hari ini.
Namun sayang, aku dan Kamal tak bias merayakan kebahagiaan ini berdua. Kamal hanya mendapatkan zin 3 hari dari kantornya. Kali ini dia pulang memang hanya untuk melamarku. Besok Kamal harus kembali ke Kalimantan, banyak tugas yang menunggunya disana. Untuk kesekian kalinya kita kembali berpisah. Selalu ada sedih, ada tangis saat harus melepas peluknya dan melihat Kamal pergi yang terus jauh meninggalkanku. Tapi kali ini berbeda, Kamal bukan lagi pacarku, dia tunanganku. Insyaallha dialah yang akan menjadi imam untukku dan anak-anakku.
*****
Tiga hari lagi umurku bertambah, tapi kenapa sampai sekarang Kamal tak memberiku kabar kalau ia mau pulang? Biasanya setiap aku ulang tahun, seminggu sebelumnya Kamal memberiku kabar bahwa ia akan pulang.
“Thya, jemput aku di bandara. Aku akan pulang dihari ulang tahunmu, sayang.”
Really?? Berarti aku mesti ke Jogja dan jemput kamu di bandara?”
“Iya, kali ini aku mau kamu jadi orang pertama yang aku liet begitu aku sampai di Jawa. Mau kan sayang?”
“Iya sayang, tentu. I’m waiting for you.”
*****

Hari ini, 24 Juni 2011. Aku udah ada di Jogja, tepatnya di bandara Adi Sutjipto. Menanti pangeranku datang…. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Baru 5 menit di bandara tapi udah berasa lama aja. Dengan setianya aku nunggu Kamal sambil duduk-duduk santai mengotak-atik gadjet baruku yang memang sengaja aku bawa buat temen nunggu. Aku bakal rayain ulang tahunku bareng Kamal. Ini lebih dari special.
Tiba-tiba aku meraasa ada yang aneh. Saat aku disibukkan dengan permainan di gadjetku, satu persatu orang datang menghampiriku membawa setangkai mawar putih yang kemudian diletakkannya di kursi smpingku duduk. Satu dua orang yang datang tak ku hiraukan. “Aneh.. ini orang kenapa pada naruh mawar putih disisni si? Loh..loh.. kenapa makin banyak yang menghampiriku. Dan semuanya membawa mawar putih.” Tanyaku dalam hati.
Sekarang di samping kanan dan kiriku telah tertumpuk mawar putih. Bunga favoritku. Tapi apa maksudnya? Aku ambil semua mawar putih itu, dan jumlahnya 18 tangkai, sama dengan jumlah usiaku sekarang.
Orang-orang menghampiriku, mereka mengelilingiku. Aku berfikir, apa salahku kenapa mereka mengelilingiku. Aku mendengar nyaring merdu suara biola yang melantunkan nada-nada lembut nan romantis.
Muncul sosok pria berbadab tegap dengan menggunakan setelan kemeja, tampan. Membawa satu bucket mawar putih. Dia menghampiriku dan berlutut dihadapanku. Ya, dia Kamal. Tunanganku.
“Happy Birthday sayang”
Sangat mengejutkan. Kamal memang penuh kejutan. Kamal selalu memberiku kejutan-kejutan special yang tak pernah terduga. Tapi kali ini benar-benar lebih dari special. Kejutan ulang tahun, di bandara, dengan melibatkan banyak orang yang entah dikenal atau tidak.
Hadiah indah yang selalu aku terima dari Kamal, kejutan demi kejutan, kasih sayang dan perhatian yang kian subur tumbuh dalam hubungan kami membuat rasa sayang dan cinta kami kian dalam.
*****

“Thya, jangan lupa koper yang dikamarmu sekalian bawa ke mobil.”
“Iya bentar, aku masih dikamar. Belum kelar beres-beres yank.” Teriakku dari dalam kamar di lantai atas rumahku.
“Mas duditnya mana?”
“Bentar lagi dia kesini. Lagi on the way, baru selese pemotretan di Taman Kota.”
Kesibukanku dan Kamal saat kami hendak pergi ke Bandung. Kali ini bukan sekedar jalan-jalan, tapi kita bakal ada foto prawedd untuk pernikahan kita. Sengaja kita pilih Bandung, karena banyak tempat-tempat romantis disana. Dan Mas Dudit ialah fotografer yang akan mengurus semua kebutuhan foto prawedd kita, dia adalah fotografer langganan keluargaku.
“Thya!!” teriak mas Dudit yang baru saja memarkirkan mobilnya di halaman depan rumahku.
“Hai mas. Gimana, mau duduk-duduk dulu atau mau langsung jalan?” tanyaku penuh semangat.
“Langsung jalan aja lah, aku udah ngga sabar pengen jalan-jalan”
“Oke. Cabuut...”
Kita bertiga lalu meninggalkan rumah dengan penuh rasa semangat dan gembira.
*****

            Setelah menempuh perjalanan panjang berjam-jam, akhirnya sampai juga di sebuah hotel tempat kami akan melepas lelah. Waktunya beristirahat. Dua jam lagi  kami bertiga akan melakukan perjalanan lagi ke Kawah Putih, foto prawedd tentunya.
            Sampai di Kawah Putih, tak membuang waktu kita langsung foto-foto. Tak perlu repot-repot berdandan karena sebelumnya aku sudah berdandan dan sudah mengenakan gaun putihku.
            Hari ini cukup melelahkan, tapi semuanya tak percuma. Foto sesion buat prawedd udah kelar dan hasilnya bagus. Aku suka semuanya. Sekarang waktunya menikmati malam terakhir di kota Bandung sebelum kami harus pulang kembali ke Purwokerto.
            Good bye Bandung, kami harus pulang malam ini juga. Berjam-jam melewati jalanan gelap dan berliku, cukup membuatku merasakan sedikit mual di perutku. Aku memilih untuk tidur.
*****

            “Aku dimana? Kenapa semuanya gelap?! Kamal, Mas Dudit... Kalian dimana? Aku bingung. Terbangun dari tidurku dan mendapati semua yang ku lihat gelap, tanpa cahaya sedikit pun.
            “Thya, sabar ya sayang..”
            Aku kenal suara itu. Itu suara ibu. Apa maksud ibu berkata seperti itu? Lantas, kenapa ibu menangis?
            “Sabar ya nak, kamu di Rumah Sakit sekarang.” Kata ayah dengan suara sendunya. Ayah menangis.
            “Rumah sakit? Siapa yang sakit? Kenapa Rumah Sakit gelap seperti ini?” aku semakin heran. “Apa yang sudah terjadi?”
            “Thya, kamu barusan kecelakaan. Sekarang kamu di Rumah Sakit. Dan kamu... kamu... “
            “Aku kenapa? Jawab!!”
            “Kamu buta Thya. Dan Kamal...”
            “Dimana Kamal? Dia baik-baik saja kan?” aku menangis. Aku langsung turun dari tempatku berbaring, menabrak apa pun yang ada di depanku. Aku tak peduli dengan kebutaanku. Aku ingin bertemu Kamal.
            “Thya tunggu, tunggu nak! Biar ibu antarkan kamu bertemu Kamal”
            Lalu aku di tuntun oleh ibu, duduk di kursi roda dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana calon suamiku? Tiba-tiba kursi terhenti. Aku mendengar sura tangis yang gaduh. Banyak orang disini. Aku bisa merasakan itu.
            “Dimana Kamal? Kamal.... Sayang kamu dimana?” teriakku diselingi dengan sesenggukan tangis.
            “Thya.. Sadarlah! Kamal sudah pulang.”
            “Apa maksudnya Kamal pulang? Dimana Kamal?” aku makin menangis sejadi-jadinya. Keadaan kian gaduh karena tangisku.
            “Sabar Thya. Kamal sudah meninggal dunia.” Kata ibu sembari memeluk ku erat.
            “Ibu ngomong apa sih? Ibu pasti bohong kan sama Thya? Kamal ngga mungkin tinggalin Thya bu.. Bulan depan kita akan menikah.”
            “Kamu harus terima kenyataan, Nak. Ini takdir Allah. Kamal telah dipanggil menghadap-Nya. Sabar, Ndo.”
            Hidupku seakan terhenti. Dengan keadaanku sekarang, aku buta dan Kamal pergi meninggalkan aku untu selama-lamanya. Pernikahan yang jadi mimpi indah aku dan Kamal, pernikahan yang hanya tinggal menghitung hari semuanya seakan mimpi terburukku.